Senin, 11 Mei 2009

Buah Hati

Tanggal 6 Mei 2009 adalah hari bersejarah bagiku. Disebuah kota kecil bernama Magelang putra pertamaku terlahir, dia bagian dari saksi sejarah bangsa ini. Karena kelahiranya berada ditengah gelombang permasalahan bangsa yang tak kunjung usai. Denyut nadi politik anak negri sedang bergejolak hebat, menghempas persahabatan, melahirkan kepentingan kekuasaan, bagi-bagi kursi seperti dagang sapi dan rakyatpun dikebiri, karena penguasa lupa diri.

Kehadiranmu sesaat setelah pesta demokrasi digelar, hingar bingar komentar terus menggelegar, menyemai masalah yang tak pernah kelar. Tangisanmu diawal kehidupanmu adalah keprihatinan sekaligus menyisakan harapan. Tangisanmu juga pertanda dari sebuah perlawanan dari penguasa tiran. Tangisanmu adalah isyarat bahwa perjuangan harus terus didengungkan. Meski sebelum kukumandangkan azan di telingamu, kata pertama yang kamu dengar adalah kasus Antasari Azhar

Bangsa ini memang sedang sakit, kronis dan hampir mati, akal sehat tak lagi di pakai, cahaya hati nurani telah jauh pergi, dan kearifan hanya sebatas obrolan.

Anakku…! Cepatlah besar…jadilah ilmuwan yang bijaksana, karena goresan penamu akan mampu menggetarkan Ars, teriakan lantangmu membumbung hingga langit ketuju, gerak langkahmu akan diiringi malaikat-malaikat kebenaran dan melahirkan benih-benih revolusi. Di atas semua harapan besar itu tertulis sebuah nama AQILA NAURA ARIFUDDIN

Magelang, 11 Mei 2009

Zuhron & Mita

Jumat, 20 Februari 2009

Pendidikan Islam ditengah arus Globalisasi

By. Zuhron Arofi

Globalisasi adalah sebuah wacana yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan publik. Perkembangan teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi1. Meski dalam kerangka realitas globalisasi belum mempunyai definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya.2 Meski demikian, globalisasi yang tujuan utamanya adalah menciptakan satu dunia dimana sekat dan batas antar negara menjadi hilang, yang secara alamiah melahirkan tiga sudut pandang yang berbeda. Pertama, para globalis, mereka meyakini bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen3. Dan kenyataan ini akan sangat berdampak bagi hubungan social masyarakat ditingkat local yang secara alamiah akan terhegemoni oleh arus budaya barat yang cenderung lebih kuat dan berbeda dengan tradisi ketimuran. Perubahan yang berlangsung secara cepat dan drastis menyebabkan banyak orang gagal menyesuaikan diri. Akibatnya, muncullah berbagai bentuk kekerasan social yang dapat mempergunakan symbol-simbol kemanusiaan, politik, ekonomi bahkan juga symbol keagamaan4. Kedua, disisi lain ada pihak yang acuh, sekaligus menolak konsep globalisasi mereka yang biasa disebut sebagai kaum tradisionalis. Kaum tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital5. Meski bentuk yang kedua ini adalah pendapat minoritas, penulis lebih melihat pada sikap apriori dan minder terhadap realitas yang terjadi. Ketiga, Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan6.

Liberalisasi pendidikan

Kihajar Dewantara pernah mengatakan “Pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri” pesan tersebut sepertinya tidak lagi sejalan dengan realitas pendidikan di Indonesia saat ini. Dalam kontek keindonesiaan kran liberalisasi dalam sector pendidikan telah dibuka dengan turunya peraturan Pemerintah No 77 tahun 2007. Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan universitas. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba7. Hal itu adalah salah satu imbas dari gelombang globalisasi yang salah satu anak kandungnya adalah liberalisasi pendidikan. Globalisasi telah merubah seluruh dimens kehidupan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Pendidikan Islam kehadirannya sebagai fenomena dan diharapkan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan-persoalan yang berkembang8. Termasuk tantangan liberalisasi pendidikan

Pendidikan Islam dan Tantangan Dunia Global

Dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat, maka muncullah pertanyaan yang cukup mendasar. Seberapa kesiapan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi?. Untuk menjawab pertanyaan di atas maka perlu kita kemukakan terlebih dahulu problem pendidikan Islam dewasa ini. Setidaknya ada empat persoalan mendasar yang menjadi catatan penulis. Pertama, berhubungan dengan kurikulum, Seyyed Hossein Nasr telah menegaskan bahwa kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di kebanyakan negara Islam sekarang ini, dalam banyak hal, disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam pendidikan Islam tradisional9 dalam kontek kekinian kurikulum pendidikan Islam yang kita miliki masih harus dikaji ulang dengan proses dialektika yang kokoh dan mendalam, perkembangan globalisasi telah membawa dampak yang begitu besar dan bersifat multidimensi, orientasi kurikulum hendaknya diarahkan pada sebuah proses yang lebih kontekstual yang tidak terjebak pada kerangka retorika teoritis. Keadaan yang demikian terlihat dalam realita ketika pendidikan Islam masih gagap dihadapkan pada isu-isu seperti pluralisme, multikulturalisme, feminisme dan globalisasi itu sendiri. Globalisasi bukan hanya merupakan latar belakang struktural saja, tapi juga pendekatan hegemoni. Kelalaian dalam merespons perubahan, kajian Islam untuk konteks kekinian, dan orientasinya akan membawa umat pada posisi marginal.10 Globalisasi dewasa ini menampilkan suatu corak hubungan antar bangsa yang tidak seimbang. Hubungan antara negara maju dengan negara-negara berkembang masih ditandai dengan polarisasi kuat lemah, hal ini pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya “ akulturasi asimetris”10 Akulturasi asimetris mendorong penetrasi budaya asing kedalam budaya nasional suatu bangsa dan mengakibatkan transformasi budaya yang timpang.12

Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Islam and the Challenge of the 21st Century menyebutkan bahwa: tantangan serius yang dihadapi muslim dari luar adalah apa yang disebut kesalahan posisi Barat pada tatanan global. Ini merupakan tipuan dan permainan yang sangat penting yang terjadi di dunia saat ini. Secara umum penjajahan telah berakhir, namun ada bentuk penjajahan baru yang selalu berbicara atas nama global. Tapi sebenarnya tidak demikian, karena hal itu tidak semua bagian di dunia ini terlibat dalam kasus itu.13 Perubahan dunia yang semakin cepat menuntut berbagai pemikiran progresif untuk memposisikan pendidikan Islam sebagai benteng pertahanan sekaligus pilar utama dalam mendorong terbentuknya moralitas global. Dan jantung dari pendidikan adalah kurikulum. Kedua, menyangkut persoalan metode, dalam qoidah fiqih disebutkan Attoriqotu Ahammu minal Maddah, masalah yang kedua ini menjadi persoalan yang sangat serius, sebab hal ini menyangkut bagaimana pesan dari esensi pendidikan tersampaikan secara tepat. Ketiga, orientasi pendidikan IslamSebab untuk mempe

Laju globalisasi yang sepertinya tidak mungkin lagi terbendung oleh kekuatan manapun, perlu melahirkan sebuah konsepsi yang riel dan sistematis sekaligus menjawab pertanyaan di atas dan menjadi perangkat tanding bagi gerak laju globalisasi

Agenda Masa Depan Pendidikan Islam

Globalisasi yang berkembang saat ini tidak mungkin untuk ditolak eksistensinya, sebab globalisasi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam rangka menata kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Penataan kembali sistem pendidikan Islam bukan sekedar modifikasi atau tambal sulam, tapi memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan besar bagi pencapaian tahap tinggal landas14. Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan beberapa argumentasi solutif sekaligus menjadi sebuah agenda ke depan bagi pendidikan Islam. Pertama, perlu pengkajian ulang terhadap sistem pendidikan Islam yang saat ini berjalan dengan tetap mengedepankan semangat ajaran Islam. Semangat tersebut diwujudkan dalam bentuk upaya mendialogkan kembali teks-teks suci keagamaan terhadap setiap kenyataan yang terjadi. Kedua, mempersiapkan sumberdaya manusia yang lebih matang dan berkualitas berbekal kemampuan komprehensif. Ketiga, memperteguh kembali peran seluruh elemen dalam pendidikan yaitu, individu, keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan negara. Keempat, perlunya menyatukan spiritual Islam dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai basis yang kuat untuk menghadapi arus globalisasi yang semakin menghimpit, sebab dalam tradisi intelektual Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antar-beragai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan (keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan, tetapi juga dalam dunia pengetahuan. Ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antar-berbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filosof, dari sufi hingga sejarawan, yang banyak di antara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu. Kelima, membangun jaringan pendidikan dari sekala lokal, nasional dan global sebagai bentuk komunikasi aktif dan sharing informasi antar negara tentang perkembangan pendidikan Islam diseluruh belahan bumi ini, sehingga tidak terjadi ketimpangan konsepsi pendidikan Islam. Keenam, mempertahankan potensi culture lokal yang dimiliki masyarakat sekaligus jembatan komunikasi budya dengan tetap memegang teguh semangat keislaman.

Catatan

1. Fatih Suhud. Tantangan pendidikan Islam di era Globalisasi Dipublikasikan: 02/04/2006

2. Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia

3. ibid

4. Munir Mulkhan dalam menggagas pendidikan rakyat hal 13

5. Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia

6. ibid

7. sigit B.Darmawan http://esbede.wordpress.com/2008/02/23/liberalisasi-pendidikan/

8. imam mawardi : Reformasi pendidikan Islam di Indonesia

9.Seyyed Hossein Nasr, "Kata Pengantar", dalam Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, Quth al-Din al-Syirazi, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 11.

10. diambil dari sebuah artikel berjudul; Globalisasi dan Pendidikan Integral, http//radarlampung.or.id

11. akulturasi asimetris berarti pengaruh negara-negara maju yang dominan dalam bidang ekonomi dan iptek atas dasar negara-negara berkemabgn juga memasuki bidang-bidang non ekonomi seperti politik dan budaya

12. Din Samsudin : Etika agama dalam membangun masyarakat madani Hal 169

13. ibid

14. Tobroni dan syamsul Arifin

Senin, 16 Februari 2009

Air mata cinta

Air mata cinta

Adinda ..! bila kelak biduk rumah tangga kita bertubrukan dengan benteng karang kehidupan

Bila impian remaja telah menjadi kenyataan pahit

Bila bukit-bukit harapan digoncang cobaan,

Seluruh jiwa ragaku ingin adinda teguh disamping suami,

Istri atau suami akan tetap tersenyum walaupun langin makin mendung,

Pada saat seperti itu, tidak ada yang paling menyejukkan suami selain melihat pemandangan yang menngharukan.

Ia bangun dimalam hari.

Didapatinya adinda tidak disampingnya.

Kemudian, ia dengar suara wanita bersujud, suaranya gemetar,

Ia sedang memohon agar Allah menganugerahkan pertolongan bagi suaminya.

Pada saat seperti itu, suami adinda akan menegakkan tangan ke langit, bersamaan dengan tetesan air matanya.

Ia berdo’a..ya Allah ! Karuniakan kepada kami istri dan keturunan yang menentramkan hati kami dan jadikanlah kami penghulu orang-orang yang taqwa

Khutbah nikah Prof. Suyanto yang di kutip oleh Ahmad Syafi’i ma’arif ( Resonansi Republika , 17 Feb 2009 ) dan telah ada sedikit perubahan dari penulis

Magelang, 17 Februari 2009

Zuhron Arofi

Jumat, 13 Februari 2009

अर्तिकेल Islam

ICMI DAN MODERNISME ISLAM DI INDONESIA

By. Zuhron Arofi

Staf Pengajar Fakultas Agama Islam UMM

PENDAHULUAN

Berbicara tentang bangsa Indonesia tidak akan lepas dari perbincangan kita tentang eksistensi masyarakat muslim yang menduduki populasi mayoritas di negri ini. Keberadaan muslim di negri ini sesungguhnya telah berlangsung berabad-abad yang lalu, yang pada awalnya ( founding fathers ) digawangi oleh para ulama sebagai penyebar Islam pertama kali di nusantara. Sejak kemunculannya Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang sangat pesat dan di terima oleh banyak kalangan, sehingga sangat wajar kalau sekarang ini ummat kita berada pada posisi mayoritas. Dalam rangkain itu pula maka muncullah berbagai aliran dalam tubuh ummat Islam yang acap kali menimbulkan perselisihan. Tantangan zaman yang melaju begitu pesat telah melahirkan berbagai permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat dengan ragam dan bentuk yang berbeda. Dalam konteks ini dibutuhkan sebuah pemikiran yang segar dari para intelektual muslim untuk memproduksi tafsiran hukum yang mampu menjawab problematika yang berkembang. Hal ini sejalan dengan rumusan ICMI dalam muqodimahnya “Cendekiawan muslim dalam kedudukannya sebagai abdi Allah subhanahu wata'ala, selaku warga negara Republik Indonesia yang sadar akan besarnya tantangan perubahan paradigmatis yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa perlu mengembangkan peluang dan merumuskan pemikiran dan konsep strategis, sekaligus mengupayakan pemecahan konkrit permasalahan strategis lokal, regional, nasional, dan global menuju rahmatan lil'alamin.( AD/ART ICMI www.icmi.or.id ) Dasar inilah yang dijadikan pijakan dalam proses perkembangan selanjutnya

Seketsa sejarah kelahiran ICMI

Kemunculan ICMI berawal dari sebuah diskusi kecil bulan Februari 1990 di Masjid Kampus Universitas Brawijaya, sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama karena "berseraknya" keadaan cendekiawannya, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat. Masing-masing cendekiawan muslim sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesinya masing-masing. Dari forum tersebut tercetus keinginan untuk menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempertemukan para cendekiawan muslim. Caranya adalah dengan menghadirkan mereka sebagai pembicara dalam suatu simposium.
Setelah. itu mereka menghadap rektor Universitas Brawijaya Drs. ZA Ahmady, MPA untuk berkonsultasi, dan juga meminta saran-saran dari Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Drs. A. Malik Fajar, MSc. Oleh Rektor Universitas Brawijaya, mereka diminta menyusun proposal dan membentuk kepanitiaan simposium. Tema simposium yang direncanakan adalah "Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas"; dengan ancar-ancar pelaksanaan tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. meski pada praktiknya rencana itu tidak berjalan dengan lancar

Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Tapi erat kaitannya dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade l990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi. Keruntuhan komunisme sebagai salah satu ideologi yang terkuat di dunia, mengakibatkan terjadinya perpecahan dan disintegrasi di negara-negara yang diperintah oleh rezim komunis, khususnya di Eropa Timur. Ketika kemudian Uni Soviet sebagai negara adikuasa juga runtuh, pasca itu peta politik dunia juga berubah secara drastis. Barat dan khususnya Amerika yang memegang hegemoni kekuatan, tidak lagi memiliki "lawan tanding" yang tangguh dalam perebutan pengaruh. Sementara itu, di sisi lain, di berbagai belahan dunia tertentu muncul semangat kebangkitan agama (religious revival) yang membawa implikasi bagi adanya resistensi terhadap arus kekuatan sekuler sebagai produk dari peradaban Barat. Semangat kebangkitan tersebut juga terjadi di Indonesia

Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai dengan tampilnya Islam sebagai "ideologi peradaban" dunia dan kekuatan alternatif bagi perkembangan peradaban dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka menjadi terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban, lahir dari perasaan terancam Barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali. Hal ini selaras dengan tesis Samuel P Huntington dalam The Class of Civilization ( 1996 ) yang cukup sentimen dengan Islam yang meramalkan akan terjadinya benturan antar peradaban antara barat dan timur khususnya Islam.

Disisi lain kebangkitan yang muncul justru memberikan motivasi untuk mencari alternatif bagi munculnya transformasi nilai-nilai kultural yang membebaskan manusia dari kegelisahan batin dan ketidakpastian tujuan hidup, sebagai akibat perkembangan peradaban yang terlalu berorientasi pada materi

Upaya Penyatuan

Momentum yang demikian telah membangkitkan gagasan untuk menyatukan kekuatan-kekuatan intelektual muda islam Indonesia yang kemudian terlahir dalam bentuk ICMI, Yudi Latif, dalam bukunya yang cukup menarik, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Abad ke-20. membagi-bagi cendekiawan muslim itu berdasar masanya. Paling tidak ada enam generasi intelegensia muslim yang berkembang hingga sekarang. Masa pertama diawali oleh generasi Agus Salim, Cokroaminoto dan kawan-kawan. Meski pada saat itu belum terbentuk dalam wadah ICMI. Disusul oleh generasi kedua dengan tokohnya Wahid Hasyim, Kafrawi, dari kelompok tradisional. Sementara generasi ketiga diwakili oleh generasi Mukti Ali, Deliar Noer, Zakiah Darajat dll. Generasi ketiga ini disinyalir oleh Yudi telah mempelopori lahirnya organisasi semacam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan GPII (Gabungan Pelajar Islam Indonesia).

Selanjutnya disusul generasi ke empat dengan tokohnya Imadudin Abdul Rahim, Ismail Hasan Metareum, dan Cak Nur. Generasi kelima diwakili oleh angkatan Azyumardi Azra, Fahri Ali, Masdar F. Masudi dan Marwah Daud Ibrahim. Sementara dari sayap aktivis dakwah ada Hidayat Nurwahid, Nurmahmudi Ismail, Ismail, Mutammimul Ula. Generasi empat dan lima ini telah berhasil melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Generasi keenam, Mereka adalah para aktivis yang selama ini aktif menyuarakan liberalisme Islam, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani, Burhanudin, dan Nong Darol Mahmada. Mereka bukan saja mewakili generasi ke enam, tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi Intelegensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini.

Pada kenyataanya upaya penyatuan yang digagas oleh pendiri ICMI tidak bisa berjalan dengan baik sesuai rencana. Kita tetap bisa menyaksikan perbedaan yang cukup tajam dikalangan intelektual Islam Indonesia, hal ini tentunya disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang memang tidak mudah disatukan. pada saat ini meskipun sebagian kalangan tidak lagi menyebut tradisional dan modern melainkan telah hijrah pada perbedaan cara pandang yang cenderung bisa disebut fundamentalis dan liberalis.

Sebagai catatan akhir, ICMI dengan segala kekurangan yang dimilikinya telah mampu menempatkan dirinya sebagai salah satu ikon Islam modernitas di Indonesia yang selalu menabuh genderang bagi kemajuan Islam Indonesia.

Referensi

www.icmi.or.id

http://islamlib.com/id/artikel/genealogi-gerakan-islam-di-indonesia/

www.kangzuh..blogspot.com

artikel Cinta

Teman aku kirim puisi indah sebagai rasa terima kasihku padamu

Ku ambil dari sebuah catatan farid esack

Kau tidak mendengarkan aku ketika…

Kau tidak memperdulikanku,

Ketika kau bilah kau mengerti aku sebelum kau mengenalku dengan baik

Atau saat kau memberiku pemecahan atas masalahku sebelum aku mengungkapkan apa masalahnya

Saat kau memotong sebelum aku selesai berbicara

Atau saat kau menyelesaikan kalimat untukku

Kau tidak mendengarkanku ketika………

Kau mengkritik perbendaharaan kataku, grammar atau aksenku

Saat kau begitu ngotot untuk memberitahuku sesuatu

Saat kau ceritakan pengalamanmu

Membuat pengalamanku tampak tak penting,

Saat kau mengobril dengan orang lain dalam ruangan,

Saat kau menolak ungkapan terima kasihku dengan mengatakan kau tidak melakukan apa-apa

Kau mendengakanku ketika………

Kau dating dengan tenang ke dalam ruang privasiku dan membiarkan aku menjadi diriku,

Saat kau betul-betul mencoba untuk mengerti aku

Meskipun aku sangat tak masuk akal

Ketika kau menghargai pandanganku

Meskipun berlawanan dengan apa yang kau yakini

Ketika kau menyadari bahwa masa-masa bersamaku sedikit melelahkan bagimu

Kau mendengarku ketika………

Kau membiarkanku untuk membuat keputusan sendiri

Mungkin kau menganggapnya salah

Ketika kau tidak mengusir masalahku

Tetapi membiarkan aku mengatasinya dengan caraku sendiri,

Ketika kau menahan diri untuk memberikan nasehat-nasehat yang baik

Ketika kau tidak memberiku solusi religius saat kau berfikir bahwa aku tidak cukup siap

Ketika kau memberiku ruang yang cukup bagiku untuk menemukan apa yang terjadi sebenarnya

Ketika kau menerima rasa terima kasihku dengan mengatakan

Betapa senangnya mengetahu kau telah membantu

Magelang 6 Maret 2007

Mita……..