ICMI DAN MODERNISME ISLAM DI INDONESIA
By. Zuhron Arofi
Staf Pengajar Fakultas Agama Islam UMM
PENDAHULUAN
Berbicara tentang bangsa Indonesia tidak akan lepas dari perbincangan kita tentang eksistensi masyarakat muslim yang menduduki populasi mayoritas di negri ini. Keberadaan muslim di negri ini sesungguhnya telah berlangsung berabad-abad yang lalu, yang pada awalnya ( founding fathers ) digawangi oleh para ulama sebagai penyebar Islam pertama kali di nusantara. Sejak kemunculannya Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang sangat pesat dan di terima oleh banyak kalangan, sehingga sangat wajar kalau sekarang ini ummat kita berada pada posisi mayoritas. Dalam rangkain itu pula maka muncullah berbagai aliran dalam tubuh ummat Islam yang acap kali menimbulkan perselisihan. Tantangan zaman yang melaju begitu pesat telah melahirkan berbagai permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat dengan ragam dan bentuk yang berbeda. Dalam konteks ini dibutuhkan sebuah pemikiran yang segar dari para intelektual muslim untuk memproduksi tafsiran hukum yang mampu menjawab problematika yang berkembang. Hal ini sejalan dengan rumusan ICMI dalam muqodimahnya “Cendekiawan muslim dalam kedudukannya sebagai abdi Allah subhanahu wata'ala, selaku warga negara Republik Indonesia yang sadar akan besarnya tantangan perubahan paradigmatis yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa perlu mengembangkan peluang dan merumuskan pemikiran dan konsep strategis, sekaligus mengupayakan pemecahan konkrit permasalahan strategis lokal, regional, nasional, dan global menuju rahmatan lil'alamin.( AD/ART ICMI www.icmi.or.id ) Dasar inilah yang dijadikan pijakan dalam proses perkembangan selanjutnya
Seketsa sejarah kelahiran ICMI
Kemunculan ICMI berawal dari sebuah diskusi kecil bulan Februari 1990 di Masjid Kampus Universitas Brawijaya, sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama karena "berseraknya" keadaan cendekiawannya, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat. Masing-masing cendekiawan muslim sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesinya masing-masing. Dari forum tersebut tercetus keinginan untuk menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempertemukan para cendekiawan muslim. Caranya adalah dengan menghadirkan mereka sebagai pembicara dalam suatu simposium.
Setelah. itu mereka menghadap rektor Universitas Brawijaya Drs. ZA Ahmady, MPA untuk berkonsultasi, dan juga meminta saran-saran dari Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Drs. A. Malik Fajar, MSc. Oleh Rektor Universitas Brawijaya, mereka diminta menyusun proposal dan membentuk kepanitiaan simposium. Tema simposium yang direncanakan adalah "Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas"; dengan ancar-ancar pelaksanaan tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. meski pada praktiknya rencana itu tidak berjalan dengan lancar
Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Tapi erat kaitannya dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade l990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi. Keruntuhan komunisme sebagai salah satu ideologi yang terkuat di dunia, mengakibatkan terjadinya perpecahan dan disintegrasi di negara-negara yang diperintah oleh rezim komunis, khususnya di Eropa Timur. Ketika kemudian Uni Soviet sebagai negara adikuasa juga runtuh, pasca itu peta politik dunia juga berubah secara drastis. Barat dan khususnya Amerika yang memegang hegemoni kekuatan, tidak lagi memiliki "lawan tanding" yang tangguh dalam perebutan pengaruh. Sementara itu, di sisi lain, di berbagai belahan dunia tertentu muncul semangat kebangkitan agama (religious revival) yang membawa implikasi bagi adanya resistensi terhadap arus kekuatan sekuler sebagai produk dari peradaban Barat. Semangat kebangkitan tersebut juga terjadi di Indonesia
Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai dengan tampilnya Islam sebagai "ideologi peradaban" dunia dan kekuatan alternatif bagi perkembangan peradaban dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka menjadi terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban, lahir dari perasaan terancam Barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali. Hal ini selaras dengan tesis Samuel P Huntington dalam The Class of Civilization ( 1996 ) yang cukup sentimen dengan Islam yang meramalkan akan terjadinya benturan antar peradaban antara barat dan timur khususnya Islam.
Disisi lain kebangkitan yang muncul justru memberikan motivasi untuk mencari alternatif bagi munculnya transformasi nilai-nilai kultural yang membebaskan manusia dari kegelisahan batin dan ketidakpastian tujuan hidup, sebagai akibat perkembangan peradaban yang terlalu berorientasi pada materi
Upaya Penyatuan
Momentum yang demikian telah membangkitkan gagasan untuk menyatukan kekuatan-kekuatan intelektual muda islam Indonesia yang kemudian terlahir dalam bentuk ICMI, Yudi Latif, dalam bukunya yang cukup menarik, “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Abad ke-20”. membagi-bagi cendekiawan muslim itu berdasar masanya. Paling tidak ada enam generasi intelegensia muslim yang berkembang hingga sekarang. Masa pertama diawali oleh generasi Agus Salim, Cokroaminoto dan kawan-kawan. Meski pada saat itu belum terbentuk dalam wadah ICMI. Disusul oleh generasi kedua dengan tokohnya Wahid Hasyim, Kafrawi, dari kelompok tradisional. Sementara generasi ketiga diwakili oleh generasi Mukti Ali, Deliar Noer, Zakiah Darajat dll. Generasi ketiga ini disinyalir oleh Yudi telah mempelopori lahirnya organisasi semacam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan GPII (Gabungan Pelajar Islam Indonesia).
Selanjutnya disusul generasi ke empat dengan tokohnya Imadudin Abdul Rahim, Ismail Hasan Metareum, dan Cak Nur. Generasi kelima diwakili oleh angkatan Azyumardi Azra, Fahri Ali, Masdar F. Masudi dan Marwah Daud Ibrahim. Sementara dari sayap aktivis dakwah ada Hidayat Nurwahid, Nurmahmudi Ismail, Ismail, Mutammimul Ula. Generasi empat dan lima ini telah berhasil melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Generasi keenam, Mereka adalah para aktivis yang selama ini aktif menyuarakan liberalisme Islam, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani, Burhanudin, dan Nong Darol Mahmada. Mereka bukan saja mewakili generasi ke enam, tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi Intelegensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini.
Pada kenyataanya upaya penyatuan yang digagas oleh pendiri ICMI tidak bisa berjalan dengan baik sesuai rencana. Kita tetap bisa menyaksikan perbedaan yang cukup tajam dikalangan intelektual Islam Indonesia, hal ini tentunya disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang memang tidak mudah disatukan. pada saat ini meskipun sebagian kalangan tidak lagi menyebut tradisional dan modern melainkan telah hijrah pada perbedaan cara pandang yang cenderung bisa disebut fundamentalis dan liberalis.
Sebagai catatan akhir, ICMI dengan segala kekurangan yang dimilikinya telah mampu menempatkan dirinya sebagai salah satu ikon Islam modernitas di Indonesia yang selalu menabuh genderang bagi kemajuan Islam Indonesia.
Referensi
http://islamlib.com/id/artikel/genealogi-gerakan-islam-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar